Selasa, 29 November 2011


MASA REMAJA AKHIR (ADOLESSENCE)
Oleh: Kelompok VIII

A.     Pendahuluan
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah kelompok yang sederhana ini. serta Salawat berangkaikan Salam kita hadiahkan ke ruh Nabi Muhammad SAW. Semoga dengan memperbanyak sholawat, kita dapat mendapat syafa’at di akhirat kelak.
Panggilaan adolesensi dapat diartikan sebagai pemuda yang keadaannya sudah mengalami ketenangan. Pada umumnya orang tua dan pendidik cenderung menyebut remaja dari pada remaja puber atau  remaja adolesensi. Bila ditinjau dari segi perkembangan biologis, yang dimaksud remaja ialah mereka yang berusia 12 sampai dengan 21 tahun. Biasanya pada gadis perkembangan biologisnya lebih cepat satu tahun dibandingkan dengan perkembangan biologis seorang pemuda, karena gadis lebih dahulu mengawali remaja yang akan berakhir pada sekitar usia 19 tahun, sedangkan pemuda baru mengakhiri masa remajanya pada sekitar 21 tahun.
Pada masa remaja akhir, Perkembangan fisik dan psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan prilakunya. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau prantaan yang bersifat konversional. Dan masih banyak lagi perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi selama masa remaja akhir ini.
Untuk menambah pemahaman kita lebih lanjut tentang masa remaja akhir/adolessence ini, ada beberapa hal yang harus kita bahas antara lain, ialah: (1). Pengertian Masa Remaja Akhir dan Adolessence, (2). Masa Remaja Akhir Sebagai Masa Adolessence, (3). Perkembangan Sosial, Moral dan Seksual, (4). Perkembangan Inteligensi dan Emosi, dan (5). Pembentukan Konsep diri
Dalam penulisan makalah ini, penulis tidak terlepas dari suatu metode penulisan. Adapun metode yang penulis gunakan yaitu dengan membaca berbagai buku sumber yang terkait dengan tema yang penuli bahas. Serta tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pribadi perkuliahan akhir semester III dalam Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik.

B.     Pengertian Masa Remaja Akhir dan Adolessence
Masa remaja, menurut Mappiare[1] (1982), berlangsung antara umur 12-21 tahun bagi wanita, dan 13-22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan  21/22 tahun adalah remaja akhir.
Dari pembagian Mappiare tersebut, dapat kita simpulkan bahwa “Masa remaja akhir” ialah masa ketika seseorang individu berada pada usia 17/18 tahun sampai dengan  21/22 tahun. Dimana saat usia ini rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menengah tingkat atas. Ketika remaja duduk dikelas terakhir biasanya orang tua menganggapnya hampir dewasa dan berada diambang perbatasan untuk memasuki dunia kerja orang dewasa.
Istilah adolescence atau remaja, berasal dari bahasa latin Adolescere, yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan lebih lanjut, Istilah Adolescence seperti yang dipergunakan saat ini sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Padangan ini didukung oleh Piaget,[2] yang mengatangan bahwa:
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama. Sekurang-kurangnya dalam masalah hak... integrasi dalam masalah masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek apektif, kurang lebih berhubungan dengan masalah puber... Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok... Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari priode perkembangan ini.

Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas, mereka sudah termasuk golongan anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa, remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai” remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fisik maupun psikisnya.

C.     Masa Remaja Akhir Sebagai Masa Adolessence
Masa remaja akhir adalah masa transisi perkembangan antara masa remaja menuju dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 17-22 tahun.  Pada masa ini terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. (Anna Freud, dalam buku Hurrlock).[3]
Adolessense berasal dari kata adolescere yang artinya: “tumbuh”, atau ”tumbuh menjadi dewasa” untuk mencapai “kematanga”, kematangan adolessense mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, seksual dan fisik.[4] Pada masa adolessense ini adalah masa terjadinya proses peralihan dari masa remaja atau pemuda ke masa dewasa. Jadi masa ini merupakan masa penutup dari masa remaja atau pemuda. Masa ini tidak berlangsung lama, oleh karena itu dengan kepandaiannya, seseorang yang dalam waktu relatif singkat sekali telah sampai kemasa dewasa.
Banyak pendapat tentang masa adolescence ini akan tetapi pada umumnya, berkisar 17,0-19,0/21,0 tahun. Pada masa adolescence ini sudah mulai stabil dan mantap, ia ingin hidup dengan modal keberanian, anak mengenal aku-nya, mengenal arah hidupnya, serta sadar akan tujuan yang dicapainya, pendiriannya sudah mulai jelas dengan cara tertentu. sikap kritis sudah semakin nampak, dan dalam hal ini sudah mulai aktif dan objektif dalam melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan dunia luar. Juga dia sudah mulai mencoba mendidik diri sendiri sesuai pengaruh yang diterimanya. Maka dalam hal ini terjadi pembangunan yang esensial terhadap pandangan hidupnya, dan masa ini merupakan masa berjuang dalam menentukan bentuk/corak kedewasaannya.[5]
Adapun siat-sifat yang dialami pada masa adolescence ini adalah sebagai berikut:[6]
  1. Menunjukkan timbulnya sikap positif dalam menentukan sistem tata nilai yang ada.
  2. Menunjukkan adanya ketenangan dan keseimbangan di dalam kehidupannya. 
  3. Mulai menyadari bahwa sikap aktif, mengkritik, waktu ia puber itu mudah tetapi melaksanakannya sulit.
  4. Ia mulai memiliki rencana hidup yang jelas dan mapan.
  5. Ia mulai senang menghargai sesuatu yang bersifat historis dan tradisi, agama, kultur, etis dan estetis serta ekonomis.
  6. Ia sudah tidak lagi berdasarkan nafsu seks belaka dalam mentukan calon teman hidup, akan tetapi atas dasar pertimbangan yang matang dari berbagai aspek.
  7. Ia mulai mengambil atau menentukan sikap hidup berdasarkan system nilai yang diyakininya.
  8. Pandangan dan perasaan yang semakin menyatu atau melebar antara erotik dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas) antar keduanya terpisah.
Pada periode adolescence ini mereka mulai menemukakan hal-hal yang bermakna dalam hidup mereka, antara lain:[7]
  1. Dalam memilih teman
  2. Saling  mencintai dan saling menepati janji antara teman
  3. Saling memberi ucapan selamat antara kawan.
  4. Saling tolong menolong antara teman.

D.    Perkembangan Sosial, Moral dan Seksual
1.      Perkembangan Sosial
Salah satu tugas perkembangan remaja yang sulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.[8]
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak membuat penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.
Dalam proses perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik dilingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk  menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya.
Karena remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga.
Dan karena keremajaan itu selalu maju, maka pengaruh kelompok sebayapun mulai akan berkurang. Hal ini disebabkan karena ada dua faktor, yaitu:[9]
a.       Sebagian besar remaja ingin jadi individu yang berdiri diatas kaki sendiri, dan ingin dikenal sebagai individu yang mandiri. Upaya bagi penemuan identitas diri yang tadi sudah dibahas melemahkan pengaruh kelompok sebaya pada remaja.
b.      Timbul dari akibat pemilihan sahabat, remaja tidak lagi berminat dalam berbagai kegiatan seperti pada waktu berada pada masa kanak-kanak. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan persahabatan pribadi yang lebih erat, maka penagruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol dibandingkan penagur teman-teman.
Ada sejumlah karakteristik menonjol dari perkembangan social remaja, yaitu sebagai berikut:[10]
a.       Berkembanganya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan.
Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial, karena sepanjang masa remaja hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang mendalam dari remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan pernyataan diri akan kemampuan kemandiriannya.
b.      Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial.
Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja ketika berhadapan dengan nilai-nilai sosial tertentu, yaitu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada pendirian dengan segala akibatnya. Ini berarti bahwa reaksi terhadap keadaan tertentu akan berlangsung menurut norma-norma tertentu pula. Bagi remaja yang idealis dan memiliki kepercayaan penuh akan cita-citanya, menurut norma-norma sosial yang mutlak meskipun segala sesuatu yang telah dicobanya gagal. Sebaliknya bagi remaja yang bersikap pasif terhadap keadaan yang dihadapi akan cenderung menyerah atau bahkan apatis. Namun ada kemungkinan seseorang tidak akan menuntut norma-norma sosial yang demikian mutlak, tetapi tidak pula menolak seluruhnya.
c.       Meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis.
Masa remaja sering kali disebut sebagai masa biseksual. Meskipun kesadaran akan lawan jenis ini berhubungan dengan perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya yang berkembang secara dominan bukanlah kesadaran jasmani yang berlainan, melainkan tumbuhnya ketertarikan terhadap jenis kelamin yang lain. Hubungan sosial yang tidak terlaku menghiraukan perbedaan jenis kelamin pada masa-masa sebelumnya, kini beralih kearah hubungan social yang dihiasi perhatian terhadap perbedaan jenis kelamin.
d.      Mulai cenderung memilih karier tertentu
Sebagaimana dikatakan oleh Kuhlen bahwa ketika sudah memasuki masa remaja akhir, mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karier tertentu meskipun dalam pemilihan karier tersebut masih mengalami kesulitan. Meskipun sebenarnya perkembangan karier remaja masih berada pada taraf pencarian karier. Untuk itu remaja perlu diberikan wawasan karier disertai dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing jenis karier tersebut.

2.      Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan.[11] Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi dan moral merupakan kaidah norma dan pranta yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik buruk yang ditentukan bagi individu olen nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial.[12]
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja ini adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional format yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memcahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis, maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi, juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang akan berlaku umum dan merumuskanya dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Disi ada lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu: [13]
a.       Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
b.      Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah, keadilan moral sebagai kekuatan moral yang dominan
c.       Penilaian moral menjadi semakin kognitif.
d.      Penilaian moral menjadi kurang egosentris
e.       Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Lawrence E. Kohlberg, tahap-tahapan perkembangan moral dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut:[14]
a.       Tingkat prakonvensional
Pada tingkat ini, anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini masih ditafsrikan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaragn kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peralihan.
b.      Tingkat konvensional
Pada tingkat ini, anak memandang perbuatan itu baik/benar atau berharga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan/persetujuan keluarga, kelompok, atau bangsa. Disini berkembang sikap konformitas, loyalitas, atau penyesuaian diri terhadap keinginan kelompok, atau aturan sosial masyarakat.
c.       Tingkat pasca-konvensional
Pada tingkat ini ada usaha individu untuk mengartikan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang dapat diterapkan atau dilaksanakan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung atau orang yang memegang/menganut prinsip-prinsip moral tersebut juga terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orang tua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubugan dengan perkembangan moral anak diantaranya sebagai berikut:[15]
a.       Konsisten dalam mendidik anak
b.      Sikap orang tua dalam keluarga
c.       Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut
d.      Sikap konsisten orang tua dalam menerapakan norma.
Dalam perkembangan moral ada tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan, penahapan yang ditemukan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Makinh tinggi tingkat penalaran sesorang makin tinggi pula tingkat moral seseorang.[16]

3.      Perkembangan Seksual
Peserta didik pada usia sekolah menengah (masa remaja)  berusaha secara total menemukan satu identitas, berupa perwujudan orientasi seksual yang tercermin dari hasrat seksual, emosional, romantis, dan atraksi kasih sayang kepada anggota jenis kelamin yang sama atau berbeda atau keduanya. Seseorang peserta didik yang tertarik pada anggota jenis kelamin lain disebut heteroseksual. Sebaliknya, seseorang yang terterik pada anggota jenis kelamin yang sama disebut homoseksual. [17]
Sebagai orang yang berada pada usia remaja, peserta didik menemukan berbagai cara untuk mengekspresikan diri mereka secara seksal. Kebanyakan orang muda meredakan ketegangan seksual melalui masturbasi, yang pada usia ini dipicu atau termotivasi oleh perilaku erotis. Disamping itu banyak remaja melalukan pengungkapan seksual dengan cara lain, seperti saling petting atau aktivitas seksual selalin hubungan seksual. Petting ialah sensasi  seksual dengan titik tekan di bawah pinggang atau diatas pinggang, tapi bukan berupa hubungan seksual.
Aktivitas seksual peserta didik remaja banyak diwarnai oleh pikiran bahwa mereka sedang jatuh cinta kepada satu orang secara khusus untuk waktu yang lama, tetapi mereka tidak memiliki tingkat kematangan yang diperlukan untuk mempertahankan “hubungan intim” dan penuh kasih. Promiskuitas remaja mungkin menunjukkan masalah emosional, termasuk harga diri rendah, ketergantungan, ketidakdewasaan, atau permusuhan yang mendalam.
Pengalaman seksual mencakup pengalaman yang secara khayal ditujukan kepada hubungan jasmani dan orang yang dicenderunginya. Sehubungan dengan perkembangan erotik, Spianger mengatakan bahwa pengalaman erotik berwujud cinta yang pada dasarnya estetis. Jiwa mempersatukan diri dengan jiwa yang lain, karena mengagumi kecantikan atau kegagahan tubuh yang lain itu. Dalam tubuh yang cantik dan gagah mereka melihat adanya jiwa yang ideal.[18]
Dari berbagai hasil studi disimpulkan bahwa masalah seksualitas pada remaja timbul karena faktor-faktor berikut, yaitu:[19]
a.       Perubahan-perubahan hormonal yang  meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b.      Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), mapun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan dan persiapan mental).
c.       Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah.
d.      Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih menjadi tidak terbendung lagi.
e.       Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukkan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap anak, malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu ini.
f.        Dipihak lain tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin besar antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sebagai kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

E.     Perkembangan Inteligensi dan Emosi
1.      Perkembangan Inteligensi
Istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Menurut William Stern, ia mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. [20] Inteligensi merurut David Wechsler yang dikutip oleh Sarlito,[21] didefenisikan sebagai “ Keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
Sedangkan Inteligensi menurut Jean Piaget diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang komplek seperti berpikir, mempertimbangakan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan.[22]
Inteligensi memang mengandung unsur pikiran atau ratio, makin banyak unsur yang digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, makin berintegrasi tingkah laku tersebut. Unsur inteligensi dinyatakan dalam IQ dan dari pengukuran inteligensi yang dilakukan para ahli, maka ia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

IQ
Klasifikasi
% Diantara Penduduk Dunia
Sampai dengan 67
Terbelakang
2,2
68-79
Pembatasan
6,7
80-90
Kurang dari rata-rata
16,1
91-110
Rata-rata
50,0
110-119
Diatas rata-rata
16,1
120-127
Superior
6,7
128
Sangat superior
2,2

Dan adapun tahapan-tahapan perkembangan inteligensi menurut Piaget seperti yang telah dikutip oleh Sarlito dan yang diperjelas oleh Agus Salim Daulay adalah sebagai berikut[23]:
a.       Periode atau Masa Sensoris Motoris (0-2,5 tahun); Masa ketika bayi mempergunakan syistem penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungan.
b.      Periode atau Masa Pra-Operasional (2,0-7,0 tahun); Ciri khasnya adalah kemampuan menggunakan symbolik.
c.       Periode atau Masa Konkrit Operasional (7,0-11 tahun); Pada tahap ini anak sudah bisa melakukan berbagai macam tugas konkrit.
d.      Periode atau Masa Formal Operasional (11 tahun-dewasa); Dalam usia remaja dan seterusnya, seseorang sudah mampu berpikir abstrak dan hipotesis. Ia bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi dan bisa mengambil kesimpulan dari suatu pernyataan.
Menurut Andi Mappiare,[24] hal-hal yang mempengaruhi perkembangan inteligensi antara lain:
a.       Bertambahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang sehingga ia mampu berpikir reflektif.
b.      Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah sehingga seseorang dapat berpikir pra-operasional
c.       Adanya kebebasan berpikir, menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.

2.      Perkembangan Emosi
Dalam perilaku kita sehari-hari pada umumnya disertai dengan perbuatan, seperti perasaan senang dan tidak senang. Perasaan senang dan tidak senang yang terlalu menyertai perbuatan-perbutan kita sehari-hari disebut sebagai warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah atau kadang-kadang tidak jelas. Apabila warna afektif tersebut kuat, perasaan seperti itu dinamakan emosi.
Menurut Crow & Crow, emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai dengan perubahan-perubahan fisik. Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan pada fisik seseorang, seperti:[25]
a.       Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona
b.      Peredaran darah bertambah cepat bila marah
c.       Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut
d.      Pernafasan bernafas panjang bila kecewa
e.       Pupil mata membesar bila marah
f.        Liur mengering kalau takut atau tegang
g.       Bulu roma berdiri kalau takut
h.       Pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalau tegang
i.         Otot menjadi ketegangan atau bergetar (tremor)
j.        Komposisi darah berubah dan  kelejar-kelenjar lebih aktif.
Masa remaja adalah masa goncang yang terkenal dengan berkecambuknya perubahan-perubahan emosional. Elizaberth[26] mengatakan bahwa masa remaja adalah masa “badai dan takanan”. Suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, atau perubahan jasmaniah, terutama perubahan hormon seks.
Akan tetapi menurut Zakiah Daradjat,[27] bahwa kegoncangan emosi itu tidak hanya disebabkan oleh perubahan hormon seks dalam tubuh saja, karena perubahan hormon itu mencapai puncaknya pada permulaan masa remaja awal, sementara perkembangan emosi mencapai puncaknya pada periode akhir. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa kegoncangan emosi juga dapat berakibat dari suasana masyarakat dan keadaan ekonomi lingkungan remaja.
Masa remaja dikenal dengan masa strom and stress, yaitu terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi.[28] Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari berbagai macam pengaruh, seperti lingkungan, tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebayanya, serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penyesuaian diri terhadap lawan jenis termasuk salah satu hal yang menyebabkan kecemasan pada remaja, karena keadaan dan perasaan ini adalah hal baru. Oleh karena itu, memerlukan kemampuan untuk menyesiaikan diri, karena dapat menimbulkan ketegangan emosi. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tetapi tidak jarang menimbulkan konflik jika tidak diikuti oleh bimbingan dari orang tua atau orang yang telah dewasa. Begitu pula dengan kehidupan disekolah, ada pula situasi yang menyebabkan tidak enaknya remaja. Seperti kegagalan dalam belajar, akan menimbulkan rasa tidak enak, cemas dan mungkin putus asa.[29]
Diantara faktor terpenting yang menyebabkan ketegangan remaja adalah masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri. Biasanya penyesuaian diri itu didahului oleh kegoncangan emosi, karena setiap percobaan mungkin gagal atau sukses. Ketakutan atau gagal menyebabkan jiwanya goncang. Semakin banyak situasi dan suasana baru akan bertambah pula usaha untuk penyesuaian selanjutnya akan meningkat pula kecemasan.[30]

F.      Pembentukan Konsep diri
Remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke dewasa, dimana secara psikologis kedewasaan tentunya bukan hanya tercapainya usia tertentu seperti misalnya dalam ilmu hukum, secara psikologis kedewasaan ialah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang. Ciri-ciri psikologis itu menurut G.W Alport adalah:[31]
1.      Pemakaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri) berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya.
2.      Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insinght) dan kemampuan untuk mengkap humor (sense of humor) termasuk menjadikan dirinya sendiri sebagai sarana.
3.      Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying fhilosophy of life), tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannya dalam kata-kata.



G.    Penutup
Demikianlah penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna sebagai mana mestinya. Oleh karenan itu, kritik dan saran dari semua komponen yang berkepentingan dengan tujuan kesempurnaan makalah ini sangatlah diharapkan. Khususnya Bapak Dosen pengampu Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik.
Sebagaimana pepatah mengatakan “Tak ada gading yang tak retak, retaknya itu jadi ukiran. Tak ada manusia yang tak bersalah, salahnya itu mohon dimaafkan”. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa/i yang belajar Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik.

H.    Daftar Kepustakaan
Admin, http: //rumah belajar psikologi .com/ indeks: php/remaja, hal I, diambil 26/11/2011 pukul 05:00.
Ahmadi, Abu dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Ali, Muhammad dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik), Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Asrori, Mohammad, Psikologi Pembelajaran, Bandung: CV. Prima, 2008.
Daulay, Agus Salim, Diktat, Psikologi Perkembangan, STAIN PSP, 2010.
Fatimah, Enung, Psikologi Perkembangan, (Perkembangan Peserta Didi), Bandung: VP. Pustaka Setia, 2006.
Hurlock, Elizabeth B., Developmental Psychologi A. Life-Span Approach, Diterjemahkan: Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Sudarwan, Danim, Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.
Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009.


[1]Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik), (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 9.
[2]Elizabeth B. Hurlock, Developmental Psychologi A. Life-Span Approach, Diterjemahkan: Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), Edisi ke lima, hlm. 206.
[3]Admin, http: //rumah belajar psikologi .com/ indeks: php/remaja, hal I, diambil 26/11/2011 pukul 05:00.
[4]Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit,. hlm. 206.
[5]Agus Salim Daulay, Diktat, Psikologi Perkembangan, (STAIN PSP, 2010), hlm. 77-78.
[6]Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm.  125-126.
[7]Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan, (Perkembangan Peserta Didi), (Bandung: VP. Pustaka Setia, 2006), hlm.137.
[8]Elizabeth B. Hurlock, Op. Cit. hlm. 213.
[9]Ibid., hlm. 214.
[10]Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, Op. Cit., hlm. 91-92.
[11]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.132.
[12]Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, Op. Cit., hlm.136.
[13]Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), hlm. 171.
[14]Enung Fatimah, Op. Cit., hlm. 122-124.
[15]Syamsu Yusuf, Op.Cit.,hlm.133.
[16]Sunarto dan Agung Hartono, Op.Cit.,hlm.176.
[17]Danim Sudarwan, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 85.
[18]Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), hlm. 73.
[19]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 187-188.
[20]Mohammad Ali & Mohammad Asrori, Op. Cit., hlm. 27.
[21]Agus Salim Daulay, Op. Cit., hlm. 91.
[22]Mohammad Ali & Mohammad Asrori, Op. Cit., hlm. 27.
[23]Agus Salim Daulay, Diktat, Op. Cit., hlm. 92.
[24]Sunarto & Agung Hartono, Op. Cit., hlm. 106.
[25]Enung Fatimah, Op. Cit., hlm. 104-105.
[26]Agus Salim Daulay, Diktat, Op. Cit., hlm. 93.
[27]Ibid.
[28]Enung Fatimah, Op. Cit., hlm. 113.
[29]Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran, (Bandung: CV. Prima, 2008), hlm. 90.
[30]Agus Salim Daulay, Op. Cit., hlm. 94.
[31]Sarlito Wirawan Sarwono, Op. Cit., hlm. 81-82.